Rabu, 18 April 2012

09 (*03) KONFLIK, PERLU DIHINDARI ATAU DIKENDALIKAN ?

Demokrasi dan konflik ibarat dua sisi dari sebuah mata uang.  Dalam sistem pemerintahan diktator hanya dimungkinkan satu model pemikiran dan tindakan. Lainnya “illegal”. Kalau perlu pihak penguasa menjadi trend-setter tunggal atas kondisi ideal untuk segala aspek kehidupan. Sebaliknya dalam sistem pemerintahan demokratis, sangat dimungkinkan adanya perbedaan-perbedaan pendapat, pemikiran dan keyakinan dalam segala segi kehidupan. Bila perbedaan-perbedaan itu sudah dipersepsi sebagai realita, terjadinya konflik adalah merupakan hal yang tak terhindarkan. Tepat apa yang dikatakan Lewis A. Coser (Conflict, Encyclopedia of the Sosial Science, edition 1972).bahwa Konflik baik yang bersifat antar kelompok maupun intra-kelompok selalu ada ditempat orang hidup bersama.
Sebagian besar dari kita masih cenderung memandang konflik sebagai hal yang harus dihindari bukan sebagai realita yang harus di-manage. Padahal dinamika kehidupan berorganisasi dalam bentuk, jenis dan ukuran apapun tak akan terjadi tanpa adanya konflik. Kita perlu mempersepsi konflik sebagai realita yang tidak perlu dihindari apalagi ditakuti sehingga bisa membuat kehidupan organisasi menjadi stagnan. Sebaliknya konflik harus diterima sebagai “mesin” dinamika organisasi yang harus dikelola secara cerdas. Karena dalam kenyataannya, konflik tidak selamanya bersifat destruktif.
Dalam konteks pemikiran seperti itulah, konflik juga tidak identik dengan kegagalan atau kemunduran, tapi merupakan awal sebuah dinamika. Karena ditengah terjadinya konflik sebenarnya sedang berlangsung proses reparadigming. Lebih dari itu, pola belajar dan bekerja yang hanya menggarisbawahi hal-hal yang jelas dan kaku sebenarnya tidak memiliki learning values. Bahkan, mudah membuat seseorang hidup berputar-putar dalam tempurung paradigma yang sama dan membelenggu, tidak bergairah serta statis. Untuk itulah konflik sebagai unsur dinamis dari kehidupan berorganisasi betapapun kecilnya perlu dikelola dengan tepat, cepat dan profesional.
Mengelola konflik merupakan salah satu kunci utama dalam meraih “performance” yang optimal dalam setiap organisasi. Namun sering dalam praktek persepsi demikian tampaknya  masih timpang. Selama ini orgaisasi tanpa konflik selalu dipersepsi sebagai kondisi ideal. Harmonis. Pantas di-”bencmark”. Jarang sekali kita memandang konflik sebagai “vitamin” kehidupan organisasi, tapi justru sebagai virus pembawa “penyakit”. Padahal bila konflik dikelola secara cerdas akan sangat dekat korelasinya dengan kehidupan organisasi yang dinamis dan efektif. Bagaimana mungkin organisasi hidup tanpa konflik mengalami dinamika yang membangun.
Dalam tataran organisasi kenegaraan misalnya, Taiwan sanggup membangun negaranya menjadi salah satu “Macan” Asia yang berhasil dalam berbagai bidang kehidupan yang memakmurkan rakyat ditengah konfliknya dengan Republik Rakyat Cina. Korea Selatan juga demikian, ditengah konfliknya dengan Korea Utara. Para pemimpin Singapura selalu mengingatkan rakyatnya bahwa mereka tidak mempunyai apa-apa selain sumber daya manusia, tidak seperti negara-negara disekitarnya yang kaya akan sumber daya alam. Negara-negara tersebut selalu menempatkan dan mengelola konflik sebagai sesuatu yang memotivasi untuk selalu menjadi lebih baik. Dasar pemikiran mereka sederhana saja. Orang yang merasa terancam – karena terlibat konflik – tidak akan mempersepsi konflik sebagai sesuatu musibah, namun sebaliknya sebagai pemicu dinamika yang dasyat dalam rangka menggapai kemajuan yang lebih baik.  Tidak heran Lu Xan mengatakan bahwa kita harus berani menyatakan “perang” terhadap Amerika. Tentu saja bukan perang fisik melalui adu senjata, melainkan perang intelektual, kreativitas dan tehnologi.
Apa itu konflik ?
Secara umum konflik berarti perilaku anggota organisasi yang dilakukan berbeda dengan anggota lainnya.  Konflik timbul disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : perbedaan persepsi, perbedaan cara merealisasikan tujuan, perbedaan kepentingan, suatu pihak melakukan sabotase terhadap yang lain serta sumber-sumber yang terbatas adanya. Dua penyebab yang pertama merupakan jenis konflik yang dapat membuat organisasi dinamis bila di-manage dengan tepat, cepat dan profesional. Sementara penyebab yang lainnya merupakan dampak dari mismanagement, sehingga konflik semacam itu sejauh mungkin dihindari atau diselesaikan sesegera mungkin sebelum menimbulkan dampak kontra produktif bagi organisasi.
Sebagai mana kita ketahui bahwa nilai-nilai yang diajarkan dan dianut dalam masyarakat selalu bersifat  anti-konflik. Nilai-nilai persatuan, kesatuan, kerjasama dan gotong royong selalu ditekankan untuk dapat mencapai tujuan bersama. Di lain pihak, nilai-nilai demokrasi, musyawarah untuk mufakat juga menghargai perbedaan pendapat orang lain tidak jarang dikorbankan secara tidak proporsional demi menjaga kelestarian nilai-nilai sosial di atas. Oleh karena itu, masalahnya dalam manajemen adalah bagaimana mengklasifikasikan jenis konflik dinamis untuk kemudian me-manage-nya, bukan menghindari ataupun menghilangkan konflik. Justru dari perbedaan pendapat itulah sering timbul kebenaran.
Pada hakekatnya terdapat dua pandangan utama dalam memandang konflik, yaitu pandangan tradisional dan interaksional. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap akan mengganggu kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga dalam konsep pemikiran demikian, konflik selalu mengandung pengertian negatif, jelek dan destruktif. Tangungjawab manajemen adalah mencegah timbulnya konflik sampai ke akar-akarnya. Sebaliknya, dalam pandangan interaksional, konflik justru mendorong terjadinya efektifitas organisasi, dalam bentuk perubahan dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Tanpa konflik, suatu organisasi akan statis, apatis dan tidak responsif. Namun, agar konflik dapat fungsional maka harus dikendalikan secara cerdas dan profesional, sehingga efektivitas organisasi akan optimal.
Berikut adalah tabel yang menunjukan hubungan antara konflik dengan efektivitas organisasi.
Situasi Tingkat Konflik Jenis Konflik Sifat Internal Organisasi Efektivitas Organisasi
A Rendah Disfungsional Apatis, Stagnasi Nonresponsif Rendah
B Optimal Fungsional Inovatif Hidup Tinggi
C Tinggi Disfungsional Perpecahan Destruktif Rendah
Seberapa jauh konflik terjadi dilingkungan kerja anda ?
Untuk mengetahui tingkat konflik yang ada didalam organisasi anda, berikut adalah beberapa pertanyaan untuk mengukur tingkat konflik.
·         Apakah anda dikelilingi oleh para “ABS”?
·         Apakah para bawahan takut mengecewakan anda?
·         Apakah para pembuat keputusan terlalu menekankan kompromi sehingga melupakan tujuan  organisasi?
·         Apakah pimpinan lebih percaya pada impresi perdamaian dan kerjasama di atas segalanya?
·         Apakah para pembuat keputusan terlalu khawatir menyakiti perasaan orang lain?
·         Apakah pimpinan menganggap popularitas lebih penting untuk memperoleh penghargaan/balas jasa daripada kemampuan dan prestasi?
·         Apakah pimpinan terlalu mementingkan konsesus dalam membuat keputusan?
·         Apakah karyawan sangat menentang perubahan?
·         Apakah terlalu sedikit pemikiran-pemikiran baru?
·         Apakah turnover karyawan terlalu rencah?
Jika terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas, hanya ada satu atau dua jawaban positif, maka diperlukan dorongan untuk meningkatkan konflik.  Kenapa konflik harus ditingkatkan ? Karena tanpa konflik, dinamika organisasi hanya akan tinggal sebagai obsesi belaka. Bayangkan bila anda seorang atasan yang dikelilingi bawahan ABS dan terlalu takut mengecewakan anda, anda menempatkan kondisi harmonis dan damai diatas tujuan organisasi, serta alergi terhadap pemikiran-pemikiran baru dan  menentang perubahan-perubahan positif hanya karena anda khawatir menyakiti perasaan bawahan. Tentu saja organisasi yang anda pimpin akan stagnan, tidak responsif dan semakin disfungsional.
Paling tidak dibutuhkan 3 strategi untuk memfungsionalkan konflik :
1.      Pimpinan harus mampu bersikap komunikatif dalam arti pimpinan harus aktif meminta pendapat dari berbagai pihak melalui  diskusi yang meperhatikan kepentingan semua pihak, termasuk pada bawahan tentunya.
2.      Pimpinan harus mampu menstipulasi heterogenitas dalam arti membuat anggota dari unit-unit kerja untuk tidak sepenuhnya homogen dan mendorong adanya devil’s advocate pada setiap diskusi.
3.      Pimpinan harus mampu mendisain kompetisi positif dalam arti menciptakan suasana kompetisi yang sehat diantara unit-unit kerja maupun pada bawahannya langsung ke arah peningkatan performance organisasi.
Apa saja sumber konflik dalam organisasi?
Berbagai faktor dapat menjadi sumber konflik, antara lain faktor psikologis yang bersumber dari sifat-sifat individual karyawan dan faktor struktural. Namun disini difokuskan hanya pada konflik yang sumbernya bersifat  struktural. Faktor-faktor tersebut antara lain :
1.      Saling ketergantungan tugas. Ini terjadi bila ada dua atau lebih unit kerja saling tergantung untuk kerjasama, informasi, ketaatan atau kegiatan koordinatif lainnya.
2.      Ketergantungan satu arah. Ini terjadi bila satu unit kerja secara unilateral tergantung dari unit kerja lainnya.
3.      Diferensiasi horisontal yang tinggi. Ini terjadi bila unit-unit kerja memiliki tujuan, organisasi waktu dan filosofi yang berbeda, seperti antara unit produksi, pemasaran dan keuangan.
4.      Formalisasi yang rendah. Ini terjadi bila tidak ada pedoman, manual dan standarisasi, maka perselisihanpun mudah timbul.
5.      Kelangkaan sumber-sumber. Ini terjadi bila unit kerja tergantung dari fasilitas, tenaga, dana dan anggaran yang terbatas.
6.      Perbedaan kriteria evaluasi. Ini terjadi bila unit-unit kerja dinilai prestasinya secara terpisah dan bukan atas prestasi bersama
7.      Pembuatan keputusan bersama. Proses pembuatan keputusan bersama dapat menumbuhkan peluang perselisihan dan ketidakcocokan.
8.      Heterogenitas anggota. Perbedaan nilai-nilai, pendidikan, latar belakang dan umum merupakan potensi konflik.
9.      Ketidak selarasan status. Peranan suatu profesi dalam suatu organisasi yang tidak sesuai dengan statusnya secara umum.
10.  Ketidakpuasan. Perasaan ketidakadilan atas perlakuan bisa menimbulkan ketidakpuasan dan konflik.
11.  Distorsi komunikasi. Hambatan, ketidakjelasan, penahanan dan pemutarbalikan informasi baik sengaja maupun tidak sengaja.
Bagaimana Mengendalikan Konflik ?
Mengendalikan konflik berarti menjaga tingkat konflik yang kondusif bagi perkembangan organisasi sehingga dapat berfungsi untuk menjamin efektivitas dan dinamika organisasi yang optimal.  Namun bila konflik telah terlalu besar dan disfungsional, maka perlu diturunkan intensitasnya, antara lain dengan cara :
1.      Mempertegas atau menciptakan tujuan bersama. Perlunya dikembangkan tujuan kolektif di antara dua atau lebih unit kerja yang dirasakan bersama dan tidak bisa dicapai suatu unit kerja saja.
2.      Meminimalkan kondisi ketidak-tergantungan. Menghindari terjadinya eksklusivisme diatara unit-unit kerja melalui kerjasama yang sinergis serta membentuk koordinator dari dua atau lebih unit kerja.
3.      Memperbesar sumber-sumber organisasi seperti : menambah fasilitas kerja, tenaga serta anggaran  sehingga mencukupi kebutuhan semua unit kerja.
4.      Membentuk forum bersama untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah bersama. Pihak-pihak yang berselisih membahas sebab-sebab konflik dan memecahkan permasalanhannya atas dasar kepentingan yang sama.
5.      Membentuk sistem banding, dimana konflik diselesaikan melalui saluran banding yang akan mendengarkan dan membuat keputusan.
6.      Pelembagaan kewenangan formal, sehingga wewenang yang dimiliki oleh atasan atas pihak-pihak yang berkonflik dapat mengambil keputusan untuk menyelesaikan perselisihan.
7.      Meningkatkan intensitas interaksi antar unit-unit kerja, dengan demikian diharapkan makin sering pihak-pihak berkomunikasi dan berinteraksi, makin besar pula kemungkinan untuk memahami kepentingan satu sama lain sehingga dapat mempermudah kerjasama.
8.      Me-redesign kriteria evaluasi dengan cara mengembangkan ukuran-ukuran prestasi yang dianggap adil dan acceptable dalam menilai kemampuan, promosi dan balas jasa.
Penutup
Nilai-nilai sosial yang berlaku selama ini dimana konflik ditempatkan dalam dectructive zone perlu direformasi. Konflik yang nyata-nyata bersifat destruktif harus sesegera mungkin dicarikan solusinya. Sebaliknya, konflik yang bersifat positif harus di-manage secara cerdas, tepat dan profesional agar aspek organisasi ini dapat menstipulasi peningkatan performance dan dinamika organisasi melalui proses sustainable reparadigming.
Ketidakmampuan ataupun kegagalan mengelola konflik akan bermuara pada kehidupan organisasi yang apatis, stagnan dan disfungsional. Agar hal ini tidak terjadi, diperlukan seorang pemimpin yang mampu mengimplementasikan manajemen konflik secara cerdas dan berdasarkan visi, misi serta strategi praktis yang di-design-nya sanggup menyulap konflik sebagai “mesin” dinamika organisasi. Dengan demikian format organisasi tersebut akan selalu match dengan lingkungan strategisnya.
Daftar Pustaka :
1.      Sentanoe Kertonegoro, Manajemen Organisasi,  PT. Widya Press Jakarta, Edisi I, 1994. Jakarta.
2.      Gede Prama, Maximizing Personal Achievement,  PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998, Jakarta.
3.      Pandji Anoraga,  Psikologi Kerja,  PT. Rineka Cipta, Oktober 1998, Jakarta.
4.      Helmi Manaf, Menangani Orang-Orang Bermasalah,  Majalah Manajemen, September 2000,   Jakarta
5.      Putri Rita, Upaya Menciptakan Kepuasan Karyawan, Majalah Manajemen, Februari 1999, Jakarta

sumber : http://bugiskha.wordpress.com/2012/03/21/konflik-perlu-dihindari-atau-dikendalikan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar